Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Silih bergantinya waktu dan kesempatan adalah anugerah yang Allah berikan kepada kita yang masih hidup di muka bumi ini. Datangnya hari demi hari adalah lembaran hidup yang semestinya diisi dengan iman dan amal salih. Sebagaimana telah disindir dalam ayat Allah (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr : 1-3)
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (Al-Mulk : 2). Yang terbaik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar, sebagaimana ditafsirkan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah.
Iman dan amal shalih merupakan perbendaharaan termahal yang dimiliki seorang muslim. Sementara keikhlasan dan ittiba’/mengikuti tuntunan rasul adalah rel menuju negeri kebahagiaan abadi. Membentuk pribadi yang beriman dan beramal salih tidak mungkin bisa terwujud tanpa ikhlas dan ittiba’. Iman bukanlah sekedar ucapan di lisan atau penampilan lahiriah seorang hamba. Akan tetapi iman adalah keyakinan yang tertancap di dalam hati dan dibuktikan dengan tingkah laku anggota badan.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”
Hal ini menunjukkan bahwa, keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang melahirkan amal salih. Bukan semata-mata keyakinan hati tanpa bukti secara lahiriah. Dan bukan pula penampilan lahiriah yang tidak bersumber dari ketakwaan hati. Hal ini mengingatkan kita akan sebagian aliran sesat yang berpemahaman bahwa iman cukup dengan keyakinan hati atau ucapan lisan, mereka biasa disebut dengan istilah Murji’ah. Ada juga kelompok yang terlalu berlebihan dalam menetapkan amal sehingga mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar. Mereka ini biasa dikenal dengan istilah Khawarij. Kedua aliran ini jelas menyimpang dari shirothol mustaqim.
Ibadah puasa yang kita jalankan pun semestinya adalah ibadah yang dibarengi dengan keyakinan hati, keikhlasan, dan juga selaras dengan tuntunan. Bukan ibadah yang dilandasi dengan keraguan, kemunafikan, atau mengharapkan keuntungan-keuntungan dunia, atau bahkan menyimpang dari ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti akan tertolak.” (HR. Muslim)
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Puasa adalah ibadah yang disyari’atkan untuk tujuan yang teramat mulia, yaitu untuk menggapai takwa. Di dalam Al-Qur’an, Allah sering menyandingkan antara iman dengan takwa, sebagaimana Allah juga sering menggandengkan antara iman dan amal salih. Hal ini mengisyaratkan betapa erat kaitan antara hal itu. Sebagaimana dikatakan oleh Thalq bin Habib rahimahullah, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan hukuman Allah.”
Takwa tercermin dalam perilaku seorang insan. Dia tunduk kepada perintah dan larangan Allah, sehingga dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah ekspresi dari keimanan dan perwujudan amal salih yang dia lakukan. Amal adalah bagian tak terpisahkan dari iman, sebagaimana ketaatan adalah sebab bertambahnya iman dan kemaksiatan merupakan sebab rusak atau berkurangnya iman.
Para ulama kita memaparkan, bahwa iman adalah ‘keyakinan di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan’. Satu hal yang perlu diingat bersama bahwa ketaatan dan kemaksiatan bukanlah semata-mata terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah belaka. Bahkan, diantara bentuk ketaatan itu ada yang bersifat batin, seperti halnya keikhlasan, rasa takut, kecintaan, dan harapan. Begitu pula diantara maksiat ada juga yang bersifat batin semacam riya’, ‘ujub, sombong, hasad, dan kemunafikan.
Apabila kita cermati berbagai bentuk maksiat dan ketaatan yang ada maka sumbernya adalah bermula dari dalam hati seorang insan. Ketika mereka mulai melupakan Allah maka Allah pun melupakan mereka. Ketika mereka lebih memilih kesesatan daripada hidayah maka Allah pun simpangkan hati mereka ke dalam kebingungan dan kesesatan. Sebaliknya, ketika hati mereka kembali kepada Allah dan mengingat-Nya maka Allah pun mengingat mereka, membantu dan melindungi mereka. Allah mencukupi kebutuhan mereka dan membukakan jalan-jalan kebaikan untuk mereka.
Sebagaimana yang telah diterangkan para ulama kita, bahwa salah satu hikmah penting dari ibadah puasa ini adalah; tatkala kita diperintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang pada asalnya halal di siang hari di bulan Ramadhan dan kita pun tunduk melaksanakannya, maka ingatlah bahwa sesungguhnya sepanjang umur kita ini kita juga diperintahkan untuk menahan diri dari hal-hal yang diharamkan; dan hal itu tidak terbatas pada bulan Ramadhan saja. Oleh sebab itu perintah ibadah dari Allah kepada kita tidak mengenal akhir kecuali kematian. Akhir ibadah bukanlah akhir Ramadhan atau bergemanya takbir hari raya, akan tetapi akhir ibadah adalah ketika kematian tiba.
Salah seorang ulama kita pernah ditanya, “Kapankah seorang hamba bisa merasakan lezatnya istirahat dan bersantai-santai?”. Maka beliau menjawab, “Apabila dia telah meletakkan telapak kakinya di surga.”
Hidup ini adalah perjuangan. Perjuangan tak kenal henti dan perjuangan yang terus bergulir dan menuntut kebersihan hati. Karena pada hari kiamat nanti banyaknya harta dan keturunan tiada berarti kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari penyakit-penyakit hati. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu tiada berguna harta dan keturunan kecuali bagi yang datang kepada Allah dengan hati yang saliim/selamat.” (Asy-Syu’ara’ : 88-89)
Di sebagian tempat kita saksikan, masyarakat terlalu berlebihan dalam menyambut Iedul Fithri. Bukan lagi mensyukuri nikmat Allah atas ketaatan yang dilakukan dengan taufik dari-Nya selama bulan suci, bahkan hari-hari setelah 1 Syawwal seolah menjadi ajang untuk melumuri hati dengan dosa dan maksiat kepada Ilahi.
Mulai dari jabat tangan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan mahram -sebuah tradisi menyimpang yang seolah telah berubah menjadi ajaran kitab suci- hingga hingar bingar pentas Jathilan yang sarat dengan campur tangan jin dalam merusak akidah yang murni. Inikah yang disebut dengan hari kemenangan itu?! Ataukah ini adalah hari dimana setan-setan kembali berkeliaran dan bergentayangan mengacaukan hidup umat manusia setelah sebulan penuh dibelenggu oleh Rabb penguasa langit dan bumi?
Saudaraku yang dirahmati Allah, apakah anda tidak ingat betapa nikmatnya menjalankan ibadah di bulan suci. Langkah-langkah menuju masjid. Langkah-langkah menuju pengajian. Langkah-langkah menuju majelis ilmu. Jari-jemari yang bergerak menghitung zikir dan wirid yang kita ucapkan. Lembutnya alunan ayat Allah yang terus menyirami dan membasahi lubuk hati. Akankah kita buang semua kenangan indah ini dan kita ganti dengan lembaran dosa dan kemaksiatan yang begitu hitam, pekat dan mengotori hati nurani? Wahai…. Jiwa, dimanakah pengagunganmu kepada Rabbmu?!
Seorang penyair berkata :
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cendekia
Mereka ceraikan dunia dan takut akan fitnahnya
Mereka lihat di dalamnya
Tatkala mereka tahu bahwa dunia
Bukan tempat tinggal untuk selamanya